16 Mei 2008

BUNUH DIRI

A. KONSEP BUNUH DIRI
Definisi suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputu isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri.
B. Bunuh diri sebagai masalah dunia
Pada laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri daripada wanita, karena laki-laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri, antara lain dengan pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang tinggi, sedangkan wanita lebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau racun, namun sekarang mereka lebih sering menggunakan pistol. Selain itu wanita lebih sering memilih cara menyelamatkan dirinya sendiri atau diselamatkan orang lain.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain karena factor kecelakaan.

Faktor yang berkontribusi pada anak dan remaja

Keluarga dan lingkungan terdekat menjadi pilar utama yang bertanggung jawab dalam upaya bunuh diri pada anak dan remaja, pernyataan ini ditunjang oleh teori Vygotsky bahwa lingkungan terdekat anak berkontribusi dalam membentuk karakter kepribadian anak, menurut Stuart Sundeen jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah tipe agresif, bermusuhan, putus asa, harga diri rendah dan kepribadian antisocial. Anak akan lebih besar melakukan upaya bunuh diri bila berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter atau keluarga yang pernah melakukan bunuh diri, gangguan emosi dan keluarga dengan alkoholisme.
Factor lainnya adalah riwayat psikososial seperti orangtua yang bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan atau stress multiple seperti pindah, kehilangan dan penyakit kronik kumpulan stressor tersebut terakumulasi dalam bentuk koping yang kurang konstruktif, anak akan mudah mengambil jalan pintas karena tidak ada lagi tempat yang memberinya rasa aman, menurut Kaplan gangguan jiwa dan suicide pada anak dan remaja akan muncul bila stressor lingkungan menyebabkan kecemasan meningkat.


PERAN PERAWAT DALAM PRILAKU MENCEDERAI DIRI
Pengkajian:
1. Lingkungan dan upaya bunuh diri
Perawat perlu mengkjai pristiwa yang menghina atau menyakitkan , upaya persiapan , ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
Gejala
Perawat mencatat adaya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi, gelisah, insomnia menetap, bewrat badan menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
Penyakit psikiatrik:
Upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, zat adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia.
Riwayat psikososial
Bercerai, putus hubungan , kehilangan pekerjaan, stress multiple (pindah, kehilangan, putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin, penyakit kronik.
Factor kepribadian
Impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kakuk, putus asa, jharga diri rendah, antisocial
Riwayat keluarga
Riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme
Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan pekerjaan dan sebagainya.

  • Sasaran jangka pendek: klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin mencederai diri
    Sasaran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri

Intervensi dan Rasional

  • Observasi prilaku klien lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien
  • Tetapkan kontak verbal dengan klien bahwa ia akan memintya bantuan jika keinginan untuk bunuh dri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang yang dipercaya)
  • Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya, jangan berikan reinforcement positive untuk prilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk prilaku maladaptive dapat menurunkan pengulangan mutilasi).
  • Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum prilaku ini terjadi (agar memahami masalah)
  • Bertindak sebagai model dalam mengexpresikan kemarahan yang tepat (prilaku bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
  • Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien merupakan prioritas perwatan)
  • Arahkan kembali prilaku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik merupakan cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
  • Komitment semua staf untuk memberikan spirit kepada klien
  • Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek samping
  • Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap
  • Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/sesuai prosedur tetap dengan mempertimbangkan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)

INTERVENSI KLIEN BUNUH DIRI
1. Listening, kontrak, kolaborasi dengan keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan mencoba untuk mengungkapkan peasaannya, berikan dukungan agar dia tabah dsan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat. Buatlah lingkungannya seaman mungkin dan jauhkanlah dari alatttt-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri.
2. Pahami persoalan dari kacamata mereka
Harus dihadapi dengan sikap menerima, sabar, dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis, memojokkan, apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri. Pada saat sedang menderita ia membutuhkan bantuan orang lain, ia butuh ventilasi untuk mengalirkan perasaan dan masalahnya. Namun ia biasanya takut untuk mencari pertolongan.
3. Pentingnya partisipasi masyarakat
Gangguan kejiwaan biasanya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena sewaktu-waktu bisa kambuh, dalam hal ini dukungan keluarga sangat penting untuk upaya penyembuhan klien , keluarga perlu didukung masyarakat sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dngan penyakit-penyakit fisik lainnya.
4. Expess feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan seperti sharing atau curhat sehingga membantu meringankan beban yang menerpa, selain mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri kepada yang maha kuasa.
5. Lakukan implementasi khusus, seperti menjauhkan benda-benda berbahaya dari lingkungan klien, dan mengobservasi prilaku yang berisiko untyuk bunuh diri

23 April 2008

ASUHAN KEPERAWATAN KRISIS

I. Tinjauan
Definisi
Krisis adalah reaksi berlebihan terhadap situasi yang mengancam saat kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki klien dan respons kopingnya tidak adekuat untuk mempertahankan keseimbangan psikologis

Jenis krisis

  • Krisis perkembangan terjadi sebagai respons terhadap transisi dari satu tahap maturasi ke tahap lain dalam siklus kehidupan (misalnya., beranjak dari manja ke dewasa).
  • Krisis situasional terjadi sebagai respons terhadap kejadian yang tiba-tiba dan tidak terduga dalam kehidupan seseorang. Kejadian tersebut biasanya berkaitan dengan pengalaman kehilangan (misalnya., kematian orang yang dicintai).
  • Krisis adventisius terjadi sebagai respons terhadap trauma berat atau bencana alam. Krisis ini dapat memengaruhi individu, masyarakat, bahkan negara.
Intervensi krisis
adalah metode pemberian bantuan terhadap mereka yang tertimpa krisis, di mana masalah yang membutuhkan penanganan yang cepat dapat segera diselesaikan dan keseimbangan psikis yang dipulihkan.
Pertimbangan Umum
  1. krisis terjadi pada semua individu pada satu saat atau saat yang lain.
  2. Krisis tidak selalu bersifat patologis; krisis dapat menjadi stimulus pertumbuhan dan pembelajaran.
  3. Krisis sangat terbatas dalam hal waktu dan biasanya teratasi dengan satu atau lain cara dalam periode yang singkat (4 sampai 6 minggu).
    Penyelesaian krisis dapat dikatakan berhasil bila fungsi kembali pulih atau ditingkatkan melalui pembelajaran baru. Penyelesaian krisis dinyatakan gagal bila fungsi tidak kembali pulih ke tingkat sebelum krisis, dan individu mengalami penurunan tingkat fungsional.
  4. Persepsi individu terhadap masalah yang dihadapi dapat menentukan krisis. Setiap individu memiliki respons yang unik terhadap masalah yang dialaminya.
  5. Faktor penyeimbang merupakan hal yang penting dalam memprediksi hasil dari respons individu terhadap krisis. Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai prediktor hasil yang baik (Aguilera, 1998).
    - Persepsi terhadap kejadian pencetus bersifat realistis bukan terdistorsi.
    - Dukungan situasional (misalnya., keluarga, teman) tersedia bagi individu tersebut.
    - Mekanisme koping yang mengurangi ansietas.
  6. Urutan perkembangan krisis
    – Periode prakrisis: individu memiliki keseimbangan emosional.
    – Periode krisis: individu memiliki pengalaman subjektif berupa kekecewaan, gagal melakukan mekanisme koping yang biasa, dan mengalami berbagai gejala.
    – Periode pascakritis: resolusi krisis

Jenis krisis
Perkembangan (maturasi): Mulai sekolah, Pubertas, Lulus sekolah, Menikah, Melahirkan anak, Anak-anak meninggalkan rumah, pensiun .
Situasional: Bercerai, Kematian, Kehilangan pekerjaan, Kegagalan akademik, Diagnosis penyakit serius .
Adventisius: Banjir, Gempa bumi, Perang, Kejahatan dengan kekerasan, Perkosaan, Pembunuhan, Penculikan, Tindakan teroris.

Gejala Umum Individu yang Mengalami Krisis
Gejala Fisik:
Keluhan somatik (mis., sakit kepala, gastrointestinal, rasa sakit)
Gangguan nafsu makan (mis., peningkatan atau penurunan berat badan yang signifikan)
Gangguan tidur (mis., insomnia, mimpi buruk)
Gelisah; sering menangis; iritabilitas

Gejala Kognitif
Konfusi sulit berkonsentrasi
Pikiran yang kejar mengejar
Kewtidakmampuan mengambil keputusan

Gejala Perilaku
Disorganisasi
Impulsif ledakan kemarahan
Sulit menjalankan tanggung jawab peran yang biasa
Menarik diri dari interaksi sosial

Gejala Emosional
Ansietas; marah, merasa bersalah
Sedih; depresi
Paranoid; curiga
Putus asa; tidak berdaya

Intervensi Krisis
a. Bantuan

Bantuan untuk individu yang mengalami krisi meliputi konseling melalui telepon, hotlines, dan konseling krisis singkat (1 sampai 6 sesi).
Bantuan untuk kelompok atau komunitas yang mengalami krisis.
- Tim bantuan krisis
Tim interdisipliner inimemberikan layanan bagi kelompok atau komunitas yang mengalami kejadian krisis tertentu.
- Tim bantuan bencana
Tim ini memiliki rencana yang terorganisir untuk membantu segmen-segmen besar populasi yang terkena bencana alam.
- Konseling stres akibat krisis
Bantuan ini ditujukan untuk kelompok profesional, seperti petugas rumah sakit, polisis dan pemadam kebakaran, yang terlibat dalam situasi krisis.

b. Peran perawat
Perawat memberikan layanan langsung pada orang-orang yang mengalami krisis da bertindak sebagai anggota tim intervensi krisis (ANA, 1994).
Perawat di lingkungan rumah sakit akut dan kronik membantu individu dan keluarga berespons terhadap krisis penyakit yang serius, hospitalisasi, dan kematian.
Perawat di lingkunagn masyarakat (mis., kantor, klinik rumah, sekolah, kantor) memnerikan bantuan pada individu dan keluarga yang mengalami krisis situasional dan perkembangan.
Perawat yang bekerja dengan sekelompok klien tertentu harus mengantisipasi situasi dimana krisis dapat terjadi.
- Keperawatan ibu dan anak. Perawat harus mengantisipasi krisis seperti kelahiran bayi prematur atau lahir mati, keguguran dan lahir abnormal.
- Keperawatan pediatrik. Perawat harus mengantisipasi krisis seperti awitan penyakit serius, penyakit kronis atau melemahkan, cedera traumatik, atau anak menjelang ajal.
- Keperawatan medikal-bedah. Perawat harus mengantisipasi krisis seperti diagnosis penyakit serius, penyakit yang melemahkan, hospitalisasi karena penyakit akut atau kronis, kehilangan bagian atau fungsi tubuh, kematian dan menjelang ajal.
- Keperawatan gerontologi. Perawat harus mengantisipasi krisis seperti kehilangan kumulatif, penyakit yang melemahkan, ketergantungan, dan penempatan di rumah perawatan.
- Keperawatan darurat. Perawat harus mengantisispasi krisis seperti trauma fisik, penyakit akut, krisis perkosaan, dan kematian.
- Keperawatan psikiatri. Perawat harus mengantisipasi krisis seperti hospitalisasi akibat penyakit jiwa, stressor kehidupan karena sakit jiwa yang serius, dan bunuh diri.
Perawat bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lain untuk membantu individu mengatasi situasi krisis.


c. Prinsip intervensi krisis
1. Tujuan intervensi krisis adalah mengembalikan individu ke tingkat fungsi sebelum krisis.
2. Penekanan intervensi ini adalah memperkuat dan mendukung aspek-aspek kesehatan dari fungsi individu.
3. Dalam intervensi krisis, pendekatan pemecahan masalah digunakan secara sistematis (serupa dengan proses keperawatan), yang meliputi:
a. mengkaji persepsi individu terhadap masalah, serta mengkaji: kelebihan dan kekurangan sistem pendukung individu dan keluarga.
b. Merencanakan hasil yang spesifik dan tujuan yang didasarkan pada prioritas.
c. Memberikan penanganan langsung(mis., menyediakan rumah singgah bila klien diusir rumah, merujuk klien ke ”rumah perlindungan” bila terjadi penganiyaan oleh suami atau istri).
d. Mengevaluasi hasil dari intervensi.
4. Hierarki Maslow. Kerangka kerja hierarki Maslow tentang kebutuhan dapat membantu menentukan prioritas intervensi.
a. Sumber daya fisik diperlukan untuk bertahan hidup (mis., makanan, rumah singgah, keselamatan).
b. Sumber daya sosial diperlukan untuk mendapatkan kembali rasa memiliki (mis., dukungan keluarga, jaringan kerja sosial, dukungan komunitas).
c. Sumber daya psikologis diperlukan untuk mendapatkan kembali harga diri (mis., penguatan yang positif, pencapaian tujuan).
5. Petugas intervensi krisis. Peran petugas intervensi krisis mencakup berbagai fungsi beriut ini.
a. Membentuk hubungan dan mengomunikasikan harapan serta optimisme.
b. Melaksanakan peran yang aktif dan mengarahkan, bila perlu.
c. Memberikan anjuran dan alternatif (mis., membuat rujukan ke lembaga yang tepat, seperti lembaga kesejahteraan anak atau klinik medis).
d. Membantu klien memilih alternatif.
e. Bekerja sama dengan profesional lain untuk mendapatkan layanan dan sumber daya yang diperlukan klien.

Tinjauan Proses Keperawatan
Intervensi Krisis


A. Pengkajian

  1. Identifikasi kejadian pencetus dam situasi krisis
  2. Tentukan persepsi klien tentang krisis yang dihadapi, meliputi kebutuhan utama yang terancam krisis, tingkat gangguan hidup, dan gejala-gejala yang dialami klien.
  3. Tentukan faktor-faktor penyeimbang yang ada, meliputi apakah klien memiliki persepssi yang realistis terhadap krisis yang terjadi, dukungan situasional (mis, keluarga, teman, sumber daya finansial, sumber daya spiritual, dukungan masyarakat), dan penggunaan mekanisme koping.
  4. Identifikasi kelebihan klien
  • Apa yang terjadi pada Anda? = Persepsi individu terhadap hal yang terjadi (realistik atau terdistorsi)
  • Apa yang Anda pikir dan rasakan? = Gejala kognitif atau emosional atas apa yang terjadi.
  • Apakah Anda mengalami gejala fisik atau perubahan prilaku Anda yang biasanya? = Gejala fisik, prilaku
  • Apakah Anda sudah pernah mengalami hal yang serupa dengan kejadian ini dalam hidup Anda? Kalau ya, bagaimana Anda melakukan koping pada saat itu ? = Pengalaman di masa lalu tentang krisis dan koping yang digunakan
  • Menurut Anda apa yang menjadi kelebihan pribadi Anda? = Pengakuan individu atas kelebihannya
  • Siapa yang Anda rasa sangat banyak membantu atau mendukung Anda? = Sistem pendukung dalam hidup Anda
  • Apa yang telah Anda coba selama ini untuk mengatasi krisis tersebut ? = Penggunaan tindakan koping dalam situasi saat ini.

B. Diagnosis Keperawatan
1. Analisis
a. Analisis persepsi unik klien terhadap krisis dan kejadian pencetusnya.
b. Analisis keadekuatan faktor penyeimbang dan tingkat dukungan pribadi, sosial dan lingkungan klien.
c. Analisis sejauh mana orang lain terpengaruh oleh krisis, seperti keluarga klien, jaringan kerja sosial, dan masyarakat.

2. Diagnosis Keperawatan.

Tentukan diagnosa keperawatan spesifik untuk klien, keluarga, masyarakart, atau gabungan dari itu, termasuk, namun tidak terbatas pada yang berikut ini :
a. Gangguan citra tubuh
b. Ketegangan peran pemberi asuhan
c. Koping komunitas tidak efektif
d. Koping individu tidak efektif
e. Penyangkalan tidak efektif
f. Koping keluarga : potensi untuk pertumbuhan
g. Disfungsi berduka
h. Respon pasca trauma
i. Ketidakberdayaan
j. Sindrom trauma perkosaan
k. Perubahan kinerja peran
l. Distres spiritual
m. Resiko kekerasan pada diri sendiria/orang lain

C. Perencanaan dan Identifikasi Hasil
1. Bantu klien,keluarga, masyarakat, atau gabungan dari itu, dalam menetapkan tujuan jangka pendek yang realistis untuk pemulihan seperti sebelum krisis.
2. Tentukan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, kelurga, masyarakat, atau gabungan dari itu. Individu yang mengalami krisis akan :
a. Mengungkapkan secara verbal arti dari situasi krisis
b. Mendiskusikan pilihan –pilihan yang ada untuk mengatasinya.
c. Mengidentifikasi sumber daya yang ada yang dapat memberikan bantuan
d. Memilih strategi koping dalam menghadapi krisis
e. Mengimplementasikan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis.
f. Menjaga keselamatan bila situasi memburuk

D. Implementasi
1. Bentuk hubungan dengan mendengarkan secara aktif dan menggunakan respon empati.
2. Anjurkan klien untuk mendiskusikan situasi krisis dengan jelas, dan bantu kien mengutarakan pikiran dan perasaannya.
3. Dukung kelebihan klien dan penggunaan tindakan koping.
4. Gunakan pendekatan pemecahan masalah.
5. Lakukan intervensi untuk mencegah rencana menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
a. Kenali tanda-tanda bahaya akan adanya kekerasan terhadap diri sendiri.(mis ; klien secara langsung mengatakan akan melakukan bunuh diri, menyatakan secara tidak langsung bahwa ia merasa kalau orang lain akan lebih baik jika ia tidak ada, atau adanya tanda-tanda depresi)
b. Lakukan pengkajian tentang kemungkinan bunuh diri
c. singkirkan semua benda yang membahayakan dari tempat atau sekitar klien.
d. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan jiwa untuk menentukan apakah hospitalisasi perlu dilakukan atau tidak.

E. Implementasi untuk klien yang marah atau melakukan kekerasan
1. Lakukan intervensi dini untuk mencegah klien melakukan kekerasan terhadap orang lain.
a. Kenali tanda-tanda verbal adanya peningkatan rasa marah (mis; berteriak, berbicara cepat, menuntut perhatian, pernyataan-pernyataan agresif)
b. Kenali tanda-tanda non verbal adanya peningkatan rasa marah (mis; rahang dikencangkan, postur tubuh menegang, tangan dikepalkan, berjalan mondar-mandir).
2. Lakukan beberap tindakan untuk mengurangi kemarahan klien.
a. Jawab pertanyaan dan tuntutan klien dengan informasi faktual dan sikap yang mendukung serta meyakinkan.
b. Berikan respon terhadap ansietas, marah dan frustasi yang dirasakannya. Sebagai contoh : Perawat dapat mengatakan ”Tampaknya Anda merasa frustasi karena tidak dapat pulang ke rumah sesuai keinginan Anda.”]
c. Biarkan klien mengeluarkan kemarahannya secara verbal, tunjukan bahwa perawat menerima kemarahan ayng diperlihatkannya.
d. Jangan membela atau membenarkan perilaku anda sendiri ataupun perilaku orang lain. (mis., anggota tim pengobatan, kebijakan Rumah Sakit).
e. Pantau bahasa tubuh anda sendiri, gunakan postur yang rileks dengan kedua tangan bergantung santai disamping tubuh.
f. Berikan kontrol pada klien terhadap situasi masalah dengan menawarkan solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah.
3. Berespons terhadap perilaku klien
a. Lindungi diri anda sendirindengan berdiri diantara klien dan pintu keluar sehingga memungkinkan anda mudah untuk melarikan diri.
b. Lindungi orang lain dengan menginstruksikan mereka untuk meninggalkan tempat.
c. Ikuti protokol lembaga, gunakan kode khusus untuk menghadapi kekerasan jika ada.
4. Gunakan prinsip-prinsip penatalaksanaan kode kekerasan bila diperlukan (mis., bila klien mengancam akan melukai, klien yang lain atau anggota staf atau jika klien melempar barang-barang atau merusak perabotan).
a. Pastikan untuk dilakukannya unjuk kekuatan (minimal lima staf).
b. Tugaskan satu anggota tim sebagai ketua, yang akan berinteraksi dengan klien dan arahkan respons tim.
c. Ketua tim berdiri di depan, sedangkan yang lain berdiri di belakangnya dalam dua atau tiga barisan.
d. Bila diperlukan restrain fisik, ketua tim akan memutuskan siapa yang akan memegang kaki dan tangan, dan siapa yang akan memegang kepala (agar tidak digigit).
e. Tim bertindak sebagai satu kesatuandan melakukan penaklukan yang lancardan tenang.
f. Lakukan latihan dimana jika teknik-teknik ini dilakukan dapat memastikan keamanan dan menghindarkan klien dan staf dari cedera.

F. Evaluasi hasil
Perawat menggunakan kriteria hasil yang spesifik dalam menentukan efektifitas implementasi keperawatan.
Keselamatan klien, keluarga, dan masyarakat dapat dipertahankan sebagai hasil dari intervensi yang adekuat terhadap ekspresi perilaku yang tidak terkendali.
Klien mengidentifikasi hubungan antara stresor dengan gejalayang dialami selama krisis.
Klien mengevaluasi solusi yang mungkin dilakukan untuk mengatasi krisis.
klien memilih berbagai pilihan solusi.
Klien kembali ke keadaan sebelum krisis atau memperbaikisituasi atau perilaku.

DAFTAR PUSTAKA
(Sumber: Isaacs, Ann. 2004. Panduan Belajar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik edisi 3. Jakarta: EGC.)

22 April 2008

Peran Perawat dalam Perilaku Kekerasan

Asuhan Keperawatan

Pengkajian

Seorang perawat harus berjaga-jaga terhadap adanya peningkatan agitasi pada klien, hierarki perilaku agresif dan kekerasan. Disamping itu, perawat harus mengkaji pula afek klien yang berhubungan dengan perilaku agresif.

Kelengkapan pengkajian dapat membantu perawat:

  • Membangun hubungan yang terapeutik dengan klien

  • Mengkaji perilaku klien yang berpotensi kekerasan

  • Mengembangkan suatu perencanaan

  • Mengimplementasikan perencanaan

  • Mencegah perilaku agresif dan kekerasan dengan terapi


Dan bila klien dianggap hendak melakukan kekerasan, maka perawat harus:

    1. Melaksanakan prosedur klinik yang sesuai untuk melindungi klien dan tenaga kesehatan

    2. Beritahu ketua tim

    3. Bila perlu, minta bantuan keamanan

    4. Kaji lingkungan dan buat perubahan yang perlu

    5. Beritahu dokter dan kaji PRN untuk pemberian obat.


Perilaku yang berhubungan dengan agresi:

Agitasi motorik: bergerak cepat, tidak mampu duduk diam, memukul dengan tinju kuat, mengapit kuat, respirasi meningkat, membentuk aktivitas motorik tiba-tiba (katatonia).

Verbal: mengancam pada objek yang tidak nyata, mengacau minta perhatian, bicara keras-keras, menunjukkan adanya delusi pikiran paranoid.

Afek: marah, permusuhan, kecemasan yang ekstrim, mudah terangsang, euphoria tidak sesuai atau berlebihan, afek labil.

Tingkat kesadaran: bingung, status mental berubah tiba-tiba, disorientasi, kerusakan memori, tidak mampu dialihkan.

Perawat dapat mengimplementasikan berbagai intervensi untuk mencegah dan memenej perilaku agresif. Intervensi dapat melalui Rentang Intervensi Keperawatan.



Strategi preventif: Kesadaran diri, Pendidikan klien, Latihan asertif.

Strategi antisipaatif: komunikasi, Perubahan lingkungan, Tindakan perilaku, Psikofarmakologi

Strategi pengurungan: Managemen kritis, Seclusion, Restrain


  • Kesadaran Diri

Perawat harus menyadari bahwa stres yang dihadapinya dapat mempengaruhi komunikasinya dengan klien. Bila perawat tersebut merasa letih, cemas, marah, atau apatis maka akan sulit baginya untuk membuat klien tertarik. Oleh karenanya, bila perawat itu sendiri dipenuhi dengan masalah, maka energi yang dimilikinya bagi klien menjadi berkurang. Untuk mencegah semua itu, maka perawat harus terus-menerus meningkatkan kesadaran dirinya dan melakukan supervisi dengan memisahkan antara masalah pribadi dan masalah klien.

  • Pendidikan Klien

Pendidikan yang diberikan mengenai cara berkomunikasi dan cara mengekspresikan marah yang tepat. Banyak klien yang mengalami kesulitan mengekspresikan perasaannya, kebutuhan, hasrat, dan bahkan kesulitan mengomunikasikannya semua ini kepada orang lain. Jadi dengan perawat berkomunikasi diharapkan agar klien mau mengekspresikan perasaannya, lalu perawat menilai apakah respon yang diberikan klien adaptif atau maladaptif.

  • Latihan Asertif

Kemampuan dasar interpersonal yang harus dimiliki perawat:

  • Berkomunikasi secara langsung dengan setiap orang.

  • Mengatakan ‘tidak’ untuk sesuatu yang tidak beralasan

  • Sanggup melakukan komplain

  • Mengekspresikan penghargaan dengan tepat

  • Komunikasi

Strategi berkomunikasi dengan klien perilaku agresif:

  • Bersikap tenang

  • Bicara lembut

  • Bicara tidak dengan cara menghakimi

  • Bicara netral dan dengan cara yang konkrit

  • Tunjukkan respek pada klien

  • Hindari intensitas kontak mata langsung

  • Demonstrasikan cara mengontrol situasi tanpa kesan berlebihan

  • Fasilitasi pembicaraan klien

  • Dengarkan klien

  • Jangan terburu-buru menginterpretasikan

  • Jangan buat janji yang tidak dapat perawat tepati.

  • Perubahan Lingkungan

Unit perawatan sebaiknya menyediakan berbagai aktivitas seperti: membaca, grup program yang dapat mengurangi perilaku klien yang tidak sesuai dan meningkatkan adaptasi sosialnya.

  • Tindakan Perilaku

Pada dasarnya membuat kontrak dengan klien mengenai perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, konsekuensi yang didapat bila kontrak dilanggar, dan apa saja kontribusi perawat selama perawatan.

  • Psikofarmakologi

Antianxiety dan Sedative-Hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa memperburuk symptom depresi. Selanjutnya, pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting effect dari benzodiazepines, dapat mengakibatkan peningkatan perilaku agresif. Buspirone obat anxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala, demensia, dan developmental disability.

Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organik.

Mood Stabilizers, penelitian menunjukkan bahwa pemberian Lithium efektif untuk agresif karena manik. Pada beberapa kasus, pemberiannya untuk menurunkan perilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain seperti RM, cedera kepala, skizofrenia, gangguan kepribadian. Pada klien dengan epilepsi lobus temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif.

Pemberian Carbamazepines dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan kelainan EEGs (electroenchephalograms).

Antipsychotic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi, atau perilaku psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu, namun diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan.

Medikasi lainnya, banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian Naltrexone (antagonis opiat), dapat menurunkan perilaku mencederai diri. Betablockers seperti Propanolol dapat menurunkan perilaku kekerasan pada anak dan pada klien dengan gangguan mental organik.

  • Managemen Krisis

Bila pada waktu intervensi awal tidak berhasil, maka diperlukan intervensi yang lebih aktif. Prosedur penanganan kedaruratan psikiatrik:

  1. Identifikasi pemimpin tim krisis. Sebaiknya dari perawat karena yang bertanggung jawab selama 24 jam.

  2. Bentuk tim krisis. Meliputi dokter, perawat, dan konselor.

  3. Beritahu petugas keamanan jika perlu. Ketua tim harus menjelaskan apa saja yang menjadi tugasnya selama penanganan klien.

  4. Jauhkan klien lain dari lingkungan.

  5. Lakukan pengekangan, jika memungkinkan.

  6. Pikirkan suatu rencana penanganan krisis dan beritahu tim.

  7. Tugaskan anggota tim untuk mengamankan anggota tubuh klien.

  8. Jelaskan perlunya intervensi tersebut kepada klien dan upayakan unhtuk kerja sama.

  9. Pengekangan klien jika diminta oleh ketua tim krisis. Ketua tim harus segera mengkaji situasi lingkungan sekitar untuk tetap melindungi keselamatan klien dan timnya.

  10. Berikan obat jika diinstruksikan.

  11. Pertahankan pendekatan yang tenang dan konsisten terhadap klien.

  12. Tinjau kembali intervensi penanganan krisis dengan tim krisis.

  13. Proses kejadian dengan klien lain dan staf harus tepat.

  14. Secara bertahap mengintegrasikan kembali klien dengan lingkungan.

    • Seclusion

Pengekangan Fisik

Merupakan tindakan keperawatan yang terakhir. Ada dua macam, pengekangan fisik secara mekanik (menggunakan manset, sprei pengekang) atau isolasi (menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri).

Jenis pengekangan mekanik:

  • Camisoles (jaket pengekang)

  • Manset untuk pergelangan tangan

  • Manset untuk pergelangan kaki

  • Menggunakan sprei

Indikasi pengekangan:

    1. Perilaku amuk yang membahayakan diri sendiri atau orang lain

    2. Perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan

    3. Ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan penolakan klien untuk istirahat, makan, dan minum

    4. Permintaan klien untuk pengendalian perilaku eksternal. Pastikan tindakan ini telah dikaji dan berindikasi terapeutik.


Pengekangan dengan sprei basah atau dingin

Klien dapat dimobilisasi dengan membalutnya seperti mummi dalam lapisan sprei dan selimut. Lapisan paling dalam terdiri atas sprei yang telah direndam dalam air es. Walaupun mula-mula terasa dingin, balutan segera menjadi hangat dan menenangkan. Hal ini dilakukan pada perilaku amuk atau agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan obat.


Intervensi Keperawatan

  1. Baringkan klien dengan pakaian rumah sakit di atas tempat tidur yang tahan air

  2. Balutkan sprei pada tubuh klien dengan rapi dan pastikan bahwa permukaan kulit tidak saling bersentuhan

  3. Tutupi sprei basah dengan selapis selimut

  4. Amati klien dengan konstan

  5. Pantau suhu, nadi, dan pernafasan. Jika tampak sesuatu yang bermakna, buka pengekangan

  6. Berikan cairan sesering mungkin

  7. Pertahankan suasana lingkungan yang tenang

  8. Kontak verbal dengan suara yang menenangkan

  9. Lepaskan balutan setelah lebih kurang 2 jam

  10. Lakukan perawatan kulit sebelum membantu klien berpakaian.


Restrain

Tujuan tindakan keperawatan adalah memonitor alat restrain mekanik atau restrain manual terhadap pergerakan klien. Dapatkan ijin dokter bila diharuskan karena kebijakan institusi.


Isolasi

Adalah menempatkan klien dalam suatu ruangan dimana klien tidak dapat keluar atas kemauannya sendiri. Tingkatan pengisolasian dapat berkisar dari penempatan dalam ruangan yang tertutup tapi tidak terkunci sampai pada penempatan dalam ruang terkunci dengan kasur tanpa sprei di lantai, kesempatan berkomunikasi yang dibatasi, dan klien memakai pakaian RS atau kain terpal yang berat.

Indikasi penggunaan:

  • Pengendalian perilaku amuk yang potensial membahayakan klien atau orang lain dan tidak dapat dikendalikan oleh orang lain dengan intervensi pengendalian yang longgar, seperti kontak interpersonal atau pengobatan.

  • Reduksi stimulus lingkuyngan, terutama jika diminta oleh klien.


Kontraindikasi

  • Kebutuhan untuk pengamatan masalah medik

  • Risiko tinggi untuk bunuh diri

  • Potensial tidak dapat mentoleransi deprivasi sensori

  • Hukuman



Evaluasi

Mengukur apakah tujuan dan kriteria sudah tercapai. Perawat dapat mengobservasi perilaku klien. Di bawah ini beberapa perilaku yang dapat mengindikasikan evaluasi yang positif:

  1. Identifikasi situasi yang dapat membangkitkan kemarahan klien

  2. Bagaimana keadaan klien saat marah dan benci pada orang tersebut

  3. Sudahkah klien menyadari akibat dari marah dan pengaruhnya pada yang lain

  4. Buatlah komentar yang kritikal

  5. Apakah klien sudah mampu mengekspresikan sesuatu yang berbeda

  6. Klien mampu menggunakan aktivitas secara fisik untuk mengurangi perasaan marahnya

  7. Mampu mentoleransi rasa marahnya

  8. Konsep diri klien sudah meningkat

  9. Kemandirian dalam berpikir dan aktivitas meningkat.


(Sumber: Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. PT Refika Aditama: Bandung)

KEKERASAN SAAT INI

Yukz… MENUJU AREA KEKERASAN
Aduh yang namanya kekerasan emang sudah menjadi buah bibir terhangat di Negara Indonesia kita tercinta…
Kekerasan adalah suatu tindakan yang bisa mengakibatkan luka baik secara fisik maupun psikis, bahkan seksual juga…dan sebenernya ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan pun bisa dikategorikan termasuk tindak kekerasan.
Kekerasan ini digolongkan ke dalam tindakan criminal, aparat hokum dan pemerintah ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah kekerasan ini…tapi kenapa masuk dalam kejiwaan ya???
Anda penasaran…Yuk kita baca lagi…

SINETRON NIHHH….
yah…Mungkin kita sudah tidak asing dengan kata kekerasan, hampir di setiap stasiun televisi menyajikan sebuah berita yang bertemakan kekerasan, kekerasan pada anak, dalam rumah tangga, juga lansia…tidak hanya berita yang menanyangkan tapi industri perfilman dan sintron Indonesia sedang berlomba meraih rating tertinggi dengan menampilkan bentuk-bentuk kekerasan.

KEKERASAN PADA ANAK HIKS
kekerasan pada anak sepertinya tidak hanya membudaya dalam berita, tapi membudaya juga dalam perfilman Indonesia saat ini, padahal media massa itu justru punya andil cukup penting karena bisa membawa pengaruh besar dalam mengubah perilaku masyarakat, makanya jika yang diajarkan kekerasan, lalu bagaimana dengan perilaku generasi bangsa nantinya?
Yah…bisa anda saksikan sendiri bagaimana kekerasan itu dikemas secara apik dan menarik sehingga yang lebih menariknya lagi justru dengan itu membuat rating sinetron/film televisi itu meningkat, apakah hal ini membuktikan bahwa orang-orang kita sekarang sudah membudayakan kekerasan dalam dirinya???
Silahkan anda tanyakan sendiri pada hati anda…Ingin tahu kekerasan pada anak seperti apa, silahkan untuk lebih lengkapnya di :
http://www.geocities.com/baguala67/bahana230901.htm?200821· http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/14/21233615/kekerasan.pada.anak.seram
http://ayahedy.com/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Itemid=27
http://www.kapanlagi.com/h/0000068003.html
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ALIAZ KDRT
Nah ini dia nih yang pastinya sudah benar-benar tidak asing lagi, pasti ada ajah di setiap keluarga yang namanya KDRT…kayaknya sudah budaya bangsa Indonesia banget deh…Apa sih KDRT? Ya itu dia singkatan dari kekerasan dalam rumah tangga yang sepertinya sudah menjadi fenomena sosial yang sering terjadi di semua lapisan masyarakat, baik kelas ekonomi tinggi maupun bawah.apakah anda tahu teman… Menurut hasil survei ekonomi sosial tahun 2006, prevalensi kekerasan terhadap perempuan adalah 3,1 persen atau empat hingga enam juta jiwa dan mayoritas adalah istri pelaku. Lokasi kekerasan 70 persen berada di rumah. Pencetus tindak kekerasan itu adalah kondisi ekonomi dan perilaku pelaku.
Wah wah ada apa dengan suami sekarang ya???imankah yang sudah tidak ada?atau manipulasi ekonomi???atau istrinya yang memancing-mancing?he ikan kali dipancing…
DAN… Budaya masyarakat yang menstigma bahwa pertengkaran, kekerasan oleh anggota keluarga adalah aib yang harus ditutup rapat, itu juga secara tidak langsung ikut melanggengkan yang namanya kekerasan dalam rumah tangga

Hemm hobby banget ya orang Indonesia…kayaknya ya kalo ngga melakukan kekerasan tuh ada yang kurang gimana….gituh!!!serasa sayur tanpa garam hehehe….
Yang namanya KDRT itu pastinya berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Nah itu tuh ada pengaruh psikologisnya…malahn justru kekerasan psikis disitu tercatat paling banyak…makanya sebenernya yang perlu dirawat jiwanya tuh ya bukan korban kekerasan aja tapi yang melakukannya juga…kayaknya sama-sama perlu dirawat jiwa-jiwanya…sepertinya dalam diri mereka memang sudah ada jiwa yang hilang yang harus dikembalikan lagi ke tempat asalnya ya ga???
Oke deh silahkan anda lebih jauh lagi melihat tindak kekerasan dalam rumah tangga ini di:
http://www.bung-hatta.info/tulisan_226.ubh
http://puterakembara.org/archives/00000165.shtml
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0303/22/jateng/201299.htm
http://www.ag.gov.au/www/agd/rwpattach.nsf/VAP/(22D92C3251275720C801B3314F7A9BA2)~FLR+17158+A4+DM_10_IND.pdf/$file/FLR+17158+A4+DM_10_IND.pdf
http://baitijannati.wordpress.com/2007/02/02/pandangan-islam-terhadap-kekerasan-dalam-rumah-tangga/
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/03/07/brk,20060307-74850,id.html
http://www.suarapembaruan.com/News/2004/09/20/Editor/edit03.htm
http://www.jawaban.com/detail.asp?menu=4&id=378


HUBUNGANNYA AMA KEPERAWATAN JIWA???
APA DONK…
Oke deh tadi kan udah dibahas tuh apa kekerasan, dan kekerasan itu sudah banyak terjadi, pada anak, dalam rumah tangga, dan pada individu lainnya.
Sedikit mungkin di atas sudah disinggung, jika kekersan itu menyangkut psikologis juga, nah area ini nih yangbisa disangkutkan ama keperawatan jiwa…
Jiwa adalah sesuatu yang abstrak tidak terlihat, tapi segala tindakannya nyata terlihat, segala tindakan kita tanpa kita sadari merupakan buah dari jiwa kita, buah dari pikiran kita, persepsi kita dan alam perasaan kita. Oleh karena itu jika seseorang berlaku kekerasan maka tanyalah “ada apa dengan jiwa orang tersebut, kenapa dia melakukan kekerasan, apa yang dia pikirkan sehingga melakukan suatu tindakan yang merugikan orang lain atau dirinya sendiri?”
Coba deh anda perhatikan pertanyaan polisi, pasti kan pak polisi itu bertanya pada si pelaku, kenapa? Apa tujuan kamu melakukan itu?
Jelas-jelas dari pertanyaan itu terlihat bukan bahwa aparat hukum ingin mengetahui pikiran dia, perasaan dia pada waktu melakukan tindakan kekerasan...
Yah coba deh berpikir logis, ada ga orang yang pengen masuk penjara gara-gara tindak kekerasan???ya ngga lah...semua juga udah tau kan jawabannya...
Tapi coba tanya lagi, kenapa banyak banget ya kejadian kekerasan? Padahal kan hukuman udah diperberat tapi tetep be jadi hobby tuh masuk penjara gara-gara tindak kekerasan... nah ini dia nih, kayaknya emang ada sesuatu ama jiwanya, kayaknya emang jiwanya udah rada-rada sedikit error...iya ga??? Pastinya iya dong...pasti mengakui kan...
Jadi apakah kalian sekarang jiwanya udah sehat??
Jadi juga kalao ditanya kekerasan kenapa terjadi?siapa yang salah? Ya itu mah karena individu sendirinya yang tidak pandai menjaga hati, menjaga emosi, menjaga jiwanya... makanya tindakannya juga kan jadi tidak terjaga...
Terus kenapa jiwanya tidak terjaga? Ya itu bisa banyak faktor yang mempengaruhi, misal:
Asuhan dan didikan dalam keluarga
Perilaku orang tua, nah ini nih kadang orang tua tanpa sadar suka berantem atau terjadi tindakan kekerasan di depan anankanya, ya jelas aja ditiru deh ama anaknya...
Pendidikan agama, ini nih sangat penting...sebagai negara yang berkeTuhanan emang sewajibnya setiap individu memiliki keyakinan dalam dirinya bahwa ada yang memiliki kita, suatu dzat yang Maha dari segala Maha, sehingga segala bentuk perilaku ada yang mengawasi dan ada pertanggungjawabannya.
Lingkungan masyarakat...makanya hati-hati kalau nanti pilih rumah, cari lingkungan yang kondusif, jangan memilih lingkungan yang banyak premannya hehehe...
Media massa, nah ini juga yang punya andil dalam membudayakan kekerasan, koran beritanya kekerasan, televisi beritanya juga bahkan filmnya, bahkan sinetronnya, katanya film itu citra diri suatu bangsa lho...terus klo ceritanya isinya kekerasan semua berarti citra diri kita????? (tanda tanya besar bukan???hehe)
Yah pokonya banyak deh hal-hal yang bisa menyebabkan tindakan kekerasan intinya sesuatu itu kembali pada dirinya, sejauh mana kendali emosinya, dan kembali lagi pada keyakinan individu itu sendiri..
Yakin deh...jika kita tidak ingin disakiti oleh orang lain maka kita tidak akan menyakiti orang lain, karena ga enak kan kalo disakiti??
Makanya emang bener tuh lagu yang bersenandung ”jagalah hati jangan kau sakiti jagalah hati lentera hidup ini..” coba deh resapi lebih jauh lirik lagunya...^-^

Menjaga hati menjaga lentera hidup agar selalu terang untuk membahgaiakan orang lain bukan untuk menyakiti orang lain..

STOP KEKERASAN Yukz...

ASUHAN KEPERAWATAN UPAYA BUNUH DIRI

A. Konsep Bunuh Diri
Definisi suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputu isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau mernyakiti diri sendiri.

B. Bunuh Diri sebagai Masalah Dunia
Pada laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri daripada wanita, karena laki-laki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif untuk bunuh diri, antara lain dengan pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang tinggi, sedangkan wanita lebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau racun, namun sekarang mereka lebih sering menggunakan pistol. Selain itu wanita lebih sering memilih cara menyelamatkan dirinya sendiri atau diselamatkan orang lain.
Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa satu juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau setiap 40 detik, bunuh diri juga satu dari tiga penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun, selain karena factor kecelakaan.

Faktor yang berkontribusi pada anak dan remaja
Keluarga dan lingkungan terdekat menjadi pilar utama yang bertanggung jawab dalam upaya bunuh diri pada anak dan remaja, pernyataan ini ditunjang oleh teori Vygotsky bahwa lingkungan terdekat anak berkontribusi dalam membentuk karakter kepribadian anak, menurut Stuart Sundeen jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah tipe agresif, bermusuhan, putus asa, harga diri rendah dan kepribadian antisocial. Anak akan lebih besar melakukan upaya bunuh diri bila berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter atau keluarga yang pernah melakukan bunuh diri, gangguan emosi dan keluarga dengan alkoholisme.
Faktor lainnya adalah riwayat psikososial seperti orangtua yang bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan atau stress multiple seperti pindah, kehilangan dan penyakit kronik kumpulan stressor tersebut terakumulasi dalam bentuk koping yang kurang konstruktif, anak akan mudah mengambil jalan pintas karena tidak ada lagi tempat yang memberinya rasa aman, menurut Kaplan gangguan jiwa dan suicide pada anak dan remaja akan muncul bila stressor lingkungan menyebabkan kecemasan meningkat.

PERAN PERAWAT DALAM PRILAKU MENCEDERAI DIRI
Pengkajian:

1. Lingkungan dan upaya bunuh diri
Perawat perlu mengkjai pristiwa yang menghina atau menyakitkan , upaya persiapan , ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.

2. Gejala
Perawat mencatat adaya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi, gelisah, insomnia menetap, bewrat badan menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.

3. Penyakit psikiatrik:
Upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif, zat adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia.

4. Riwayat psikososial
Bercerai, putus hubungan , kehilangan pekerjaan, stress multiple (pindah, kehilangan, putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin, penyakit kronik.

5. Faktor kepribadian
Impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kakuk, putus asa, jharga diri rendah, antisocial

6. Riwayat keluarga
Riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme

Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
Sasaran jangka pendek: klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin mencederai diri
Sasaran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri

Intervensi dan Rasional

  • Observasi prilaku klien lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien
  • Tetapkan kontak verbal dengan klien bahwa ia akan memintya bantuan jika keinginan untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang yang dipercaya)
  • Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya, jangan berikan reinforcement positive untuk prilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk prilaku maladaptive dapat menurunkan pengulangan mutilasi).
  • Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum prilaku ini terjadi (agar memahami masalah)
  • Bertindak sebagai model dalam mengexpresikan kemarahan yang tepat (prilaku bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
  • Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien merupakan prioritas perwatan)
  • Arahkan kembali prilaku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik merupakan cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
  • Komitment semua staf untuk memberikan spirit kepada klien
  • Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek sampin
  • Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap
  • Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/sesuai prosedur tetap dengan mempertimbangkan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)

    INTERVENSI KLIEN BUNUH DIRI

1. Listening, kontrak, kolaborasi dengan keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan mencoba untuk mengungkapkan peasaannya, berikan dukungan agar dia tabah dsan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat. Buatlah lingkungannya seaman mungkin dan jauhkanlah dari alatttt-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri.


2. Pahami persoalan dari kacamata mereka
Harus dihadapi dengan sikap menerima, sabar, dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis, memojokkan, apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri. Pada saat sedang menderita ia membutuhkan bantuan orang lain, ia butuh ventilasi untuk mengalirkan perasaan dan masalahnya. Namun ia biasanya takut untuk mencari pertolongan.

3. Pentingnya partisipasi masyarakat
Gangguan kejiwaan biasanya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena sewaktu-waktu bisa kambuh, dalam hal ini dukungan keluarga sangat penting untuk upaya penyembuhan klien , keluarga perlu didukung masyarakat sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dngan penyakit-penyakit fisik lainnya.


4. Expess feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan seperti sharing atau curhat sehingga membantu meringankan beban yang menerpa, selain mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri kepada yang maha kuasa.


5. Lakukan implementasi khusus, seperti menjauhkan benda-benda berbahaya dari lingkungan klien, dan mengobservasi prilaku yang berisiko untuk bunuh diri

(Sumber: Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. PT Refika Aditama: Bandung)

19 Maret 2008

Konsep Perilaku Kekerasan

Pengertian Perilaku Kekerasan
(Sumber: Buku Keperawatan Jiwa)
oleh Iyus Yosep, S.Kp., M.Si. (dosen Keperawatan Jiwa FIK UNPAD)

Patricia D. Barry (1998: 140), menyatakan:
Agression: An emotion compounded of frustration and hate or rage. It is an emotion deeply rooted in every one of us, a vital part of our emotional being that must be either projected outward on the environment or inward, destructively, on the self.
Suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi seara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, ke dalam diri, atau secara destruktif.
Agresi berkaitan dengan trauma pada masa anak, pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus-menerus, maka ia akan menampakkan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan napasnya.

Faktor Predisposisi
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan timbulnya perilaku kekerasan:
1. Faktor Psikologis
Psychoanalytical Theory; Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression theory; Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut:
· Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu untuk menyelesaikan secara efektif.
· Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atatu seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya dan harga diri.
· Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atatu mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.

2. Faktor Sosial Budaya
Social Learning Theory, Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut, seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal: seorang anak menunjukkan perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak dapat diterima, sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.


3. Faktor Biologis
Ada bebrapa penelitian membuktikan bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis.
Penelitian neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menerkan tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakan fungsi sistem limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori).
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin, dopamin, norepinefrin, asetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung:
· Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
· Sering mengalami kegagalan
· Kehidupan yang penuh tindakan agresif
· Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).

4. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal. Contoh stresor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh dari stresor internal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni:
· Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
· Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik interaksi sosial.